Kamis, 10 Maret 2016

ASKEP KOLELITIASIS

ASUHAN KEPERAWATAN KOLELITIASIS


KONSEP DASAR PENYAKIT

1.      Anatomi Fisiologi
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah alpukat yang terletak tepat dibawah lobus kanan hati.  Empedu yang disekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil di dalam hati.  Saluran empedu yang kecil-kecil tersebut bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bersatu membentuk duktus hepatikus komunis.  Duktus hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus.  Pada banyak orang, duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula Vateri sebelum bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua saluran dan ampla dikelilingi oleh serabut otot sirkular, dikenal sebagai sfingter Oddi.
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu yang dihasilkan hati. Empedu yang dihasilkan hati tidak langsung masuk ke duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan disimpan di kandung empedu.  Pembuluh limfe dan pembuluh darah mengabsorbsi air dan garam-garam anorganik  dalam kandung empedu sehingga cairan empedu dalam kandung empedu akan lebih pekat 10 kali lipat daripada cairan empedu hati.  Secara berkala kandung empedu akan mengosongkan isinya ke dalam duodenum melalui kontraksi simultan lapisan ototnya dan relaksasi sfingter Oddi.  Rangsang normal kontraksi dan pengosongan kandung empedu adalah masuknya kimus asam dalam duodenum. Adanya lemak dalam makanan merupakan rangsangan terkuat untuk menimbulkan kontraksi. Hormone CCK juga memperantarai kontraksi.
Dua penyakit saluran empedu yang paling sering frekuensinya adalah pembentukan batu (kolelitiasis) dan radang kronik penyertanya (kolesistitis). Dua keadaan ini biasa timbul sendiri-sendiri, atau timbul bersamaan. (Sjamsuhidajat R, 2005)

2.     Definisi
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstonesbiliary calculus.  Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu.  Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Batu Empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis (Nucleus Precise Newsletter, edisi 72, 2011).
Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam kandung empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol, pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik. Lebih dari 70% batu saluran empedu adalah tipe batu pigmen, 15-20% tipe batu kolesterol dan sisanya dengan komposisi yang tidak diketahui. Di negara-negara Barat, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol, sehingga sebagian batu empedu mengandung kolesterol lebih dari 80% (Majalah Kedokteran Indonesia, volum 57, 2007).

3.     Etiologi
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3% bilirubin. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar empedu.
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :
1)       Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki)
2)     Usia lebih dari 40 tahun .
3)     Kegemukan (obesitas).
4)     Faktor keturunan
5)     Aktivitas fisik
6)     Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan)
7)      Hiperlipidemia
8)      Diet tinggi lemak dan rendah serat
9)     Pengosongan lambung yang memanjang
10)  Nutrisi intravena jangka lama  
11)    Dismotilitas kandung empedu
12)   Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate)
13)   Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati, pankreatitis dan kanker kandung empedu) dan  penyakit ileus (kekurangan garam empedu)
14)   Ras/etnik (Insidensinya tinggi pada Indian Amerika, diikuti oleh kulit putih, baru orang Afrika)

4.    Klasifikasi
Menurut Lesmana L, 2000 dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan atas 3 (tiga) golongan:
1)       Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol.  Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol). Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama :
a)     Supersaturasi kolesterol
b)     Hipomotilitas kandung empedu
c)      Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.
2)     Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung <20% kolesterol.  Jenisnya antara lain:
a)     Batu pigmen kalsium bilirubinat (pigmen coklat)
     Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama.  Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat. Umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi.
b)     Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.  Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril.
 3)     Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50%                    kolesterol.

5.     Manifestasi Klinis
Gejala klinik kolelitiasis bervariasi dari tanpa gejala hingga munculnya gejala. Lebih dari 80% batu kandung empedu memperlihatkan gejala asimptomatik. Gejala klinik yang timbul pada orang dewasa biasanya dijumpai gejala dispepsia non spesifik, intoleransi makanan yang mengandung lemak, nyeri epigastrium yang tidak jelas, tidak nyaman pada perut kanan atas. Gejala ini tidak spesifik karena bisa terjadi pada orang dewasa dengan atau tanpa kolelitiasis.
Pada anak-anak, gejala klinis yang sering ditemui adalah adanya nyeri bilier danobstructive jaundice. Nyeri bilier yang khas pada penderita ini adalah kolik bilier yang ditandai oleh gejala nyeri yang berat dalam waktu lebih dari 15 menit sampai 5 jam. Lokasi nyeri di epigastrium, perut kanan atas menyebar sampai ke punggung. Nyeri sering terjadi pada malam hari, kekambuhannya dalam waktu yang tidak beraturan. Nyeri perut kanan atas yang berulang merupakan gambaran penting adanya kolelitiasis. Umumnya nyeri terlokalisir di perut kanan atas, namun nyeri mungkin jugaterlokalisir di epigastrium. Nyeri pada kolelitiasis ini biasanya menyebar ke bahu atas. Mekanisme nyeri diduga berhubungan dengan adanya obstruksi dari duktus. Tekananpada kandung empedu bertambah sebagai usaha untuk melawan obstruksi, sehingga pada saat serangan, perut kanan atas atau epigastrium biasanya dalam keadaan tegang.
Studi yang dilakukan oleh Kumar et al didapatkan gejala nyeri perut kanan atas yang berulang dengan atau tanpa mual dan muntah mencapai 75% dari gejala klinik yang timbul, sisanya meliputi nyeri perut kanan atas yang akut, jaundice, failure to thrive,keluhan perut yang tidak nyaman. Hanya 10% dijumpai dengan gejala asimptomatik.Mual dan muntah juga umum terjadi. Demam umum terjadi pada anak dengan umur kurang dari 15 tahun. Nyeri episodik terjadi secara tidak teratur dan beratnya serangansangat bervariasi. Pada pemeriksaan fisik mungkin tidak dijumpai kelainan. Pada sepertiga pasien terjadi inflamasi mendahului nekrosis, kemudian diikuti perforasi atau empiema pada kandung empedu.
Lewatnya batu pada kandung empedu menyebabkan obstruksi kandung empedu, kolangitis duktus dan pankreatitis. Manifestasi pertama gejala kolelitiasis sering berupakolesistitis akut dengan gejala demam, nyeri perut kanan atas yang dapat menyebar sampai ke skapula dan sering disertai teraba masa pada lokasi nyeri tersebut. Pada pemeriksaan fisik dijumpai nyeri tekan pada perut kanan atas yang dapat menyebar sampai daerah epigastrium. Tanda khas (Murphy’s sign) berupa napas yang terhenti sejenak akibat rasa nyeri yang timbul ketika dilakukan palpasi dalam di daerah subkosta kanan.

6.    Patofisiologi
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik.
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan kolesterol.  Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan.  Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan. (Schwartz S 2000).
            Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini : bilirubinat, karbonat, fosfat dan asam lemak. Pigmen (bilirubin) pada kondisi normal akan terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin terkonjugasi karena adanya enzim glokuronil tranferase bila bilirubin tak terkonjugasi diakibatkan karena kurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase tersebut yang akan mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubin tersebut. Ini disebabkan karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air tapi larut dalam lemak.sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak terkonjugasi yang bisa menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi.

Pigmen (bilirubin) tak terkonjugasi dalam empedu
Akibat berkurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase
Presipitasi / pengendapan
Berbentuk batu empedu
Batu tersebut tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi

7.     Pemeriksaan Diagnostik
a.      Radiologi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus. Disamping itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi inisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil yang paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya berada dalam keadan distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali. Pemeriksan USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus koleduktus yang mengalami dilatasi.
b.      Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral kolesistografi tidak digunakan bila pasien jaundice karena liver tidak dapat menghantarkan media kontras ke kandung empedu yang mengalami obstruksi. (Smeltzer dan Bare, 2002).
c.        Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding kandung empedu telah menebal. (Williams 2003)
d.      ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang hanya dapat dilihat pada saat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam duktus koleduktus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikan ke dalam duktus tersebut untuk menentukan keberadaan batu di duktus dan memungkinkan visualisassi serta evaluasi percabangan bilier.
(Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).
e.       Pemeriksaan Laboratorium
1)         Kenaikan serum kolesterol
2)        Kenaikan fosfolipid
3)        Penurunan ester kolesterol
4)        Kenaikan protrombin serum time
5)        Kenaikan bilirubin total, transaminase (Normal < 0,4 mg/dl)
6)        Penurunan urobilirubin
7)        Peningkatan sel darah putih: 12.000 - 15.000/iu (Normal : 5000 - 10.000/iu)
8)        Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada batu di duktus utama (Normal: 17 - 115 unit/100ml)

8.     Penatalaksanaan
            Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non bedah dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala yang menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis simptomatik dan kolelitiasis yang asimptomatik.

8.1 Penatalaksanaan Nonbedah
1. Penatalaksanaan pendukung dan diet 
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk (Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).
Manajemen terapi :
  1. Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
  2. Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
  3. Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
  4. Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.
  5. Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)
2. Disolusi medis 
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian obat-obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan daripadachenodeoxycholic karena efek samping yang lebih banyak pada penggunaanchenodeoxycholic seperti terjadinya diare, peningkatan aminotransfrase dan hiperkolesterolemia sedang
Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan batu pada 60% pasien dengan kolelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka kekambuhan mencapai lebih kurang 10%, terjadi dalam 3-5 tahun setelah terapi. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi nonoperatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten. Pada anak-anak terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-anak dengan risiko tinggi untuk menjalani operasi.
3.    Disolusi kontak
          Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.
          Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu yang kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya kekambuhan terbentuknya kembali batu kandung empedu
4.    Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud memecah batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen. (Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).
ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu. Analisis biaya-manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
5.    Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus.  Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat

8.2 Penatalaksanaan Bedah
a. Kolesistektomi terbuka
      Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b. Kolesistektomi laparaskopi
      Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.
      Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparoskopi.

9.    Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis :
1)       Asimtomatik
2)     Obstruksi duktus sistikus
3)     Kolik bilier
4)     Kolesistitis akut
5)     Perikolesistitis
6)     Peradangan pankreas (pankreatitis)
7)      Perforasi
8)      Kolesistitis kronis
9)     Hidrop kandung empedu
10)  Empiema kandung empedu
11)    Fistel kolesistoenterik
12)   Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan batu empedu muncul lagi)
13)   Ileus batu empedu (gallstone ileus)
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi

10. Prognosis
          Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil, pemeriksaan serial USG diperlukan untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu bisa menghilang secara spontan. Untuk batu besar masih merupakan masalah, karena merupakan risiko terbentuknya karsinoma kandung empedu (ukuran lebih dari 2 cm). Karena risiko tersebut, dianjurkan untuk mengambil batu tersebut. Pada anak yang menderita penyakit hemolitik, pembentukan batu pigmen akan semakin memburuk dengan bertambahnya umur penderita, dianjurkan untuk melakukan kolesistektomi.


ASUHAN KEPERAWATAN

A.   Pengkajian
Pengkajian adalah fase pertama proses keperawatan . Data yang dikumpulkan meliputi :

1.      Identitas
Kolelitiasis merupakan batu pada kandung empedu yang banyak terjadi pada individu yang berusia di atas 40 tahun dan semakin meningkat pada usia 75 tahun. Dan wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria.

2.     Riwayat Kesehatan

a.      Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen pada kuadran kanan atas, dan mual muntah.

b.      Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST, paliatif atau provokatif (P) yaitu focus utama keluhan klien, quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri/gatal tersebut. Klien sering mengalami nyeri di ulu hati yang menjalar ke punggung , dan bertambah berat setelah makan disertai dengan mual dan muntah.

c.        Riwayat penyakit dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di riwayat sebelumnya. Klien memiliki Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi.

d.      Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit kolelitiasis. Penyakit kolelitiasis tidak menurun, karena penyakit ini menyerang sekelompok manusia yang memiliki pola makan dan gaya hidup yang tidak sehat. Tapi orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibanding dengan tanpa riwayat keluarga.
e.       Riwayat psikososial
Pola pikir sangat sederhana karena ketidaktahuan informasi dan mempercayakan sepenuhnya dengan rumah sakit. Klien pasrah terhadap tindakan yang dilakukan oleh rumah sakit asal cepat sembuh. Persepsi diri baik, klien merasa nyaman, nyeri tidak timbul sehubungan telah dilakukan tindakan cholesistektomi.
f.        Riwayat lingkungan
Lingkungan tidak berpengaruh terhadap penyakit kolelitiasis. Karena kolelitiasis dipengaruhi oleh pola makan dan gaya hidup yang tidak baik.

3.     Pemeriksaan fisik
Pada hasil pemeriksaan fisik abdomen didapatkan :
a)     Inspeksi : datar, eritem (-), sikatrik (-)
b)     Auskultasi : peristaltik (+)
c)      Perkusi : timpani
d)     Palpasi : supel, nyeri tekan (+) regio kuadran kanan atas, hepar-lien tidak teraba, massa (-)  
e)     Sistem endokrin
Mengkaji tentang keadaan abdomen dan kantung empedu. Biasanya pada penyakit ini kantung empedu dapat terlihat dan teraba oleh tangan karena terjadi pembengkakan pada kandung empedu.
4.    Pola aktivitas
  1. Nutrisi
  2. Dikaji tentang porsi makan, nafsu makan
  1.  Aktivitas
  2. Dikaji tentang aktivitas sehari-hari, kesulitan melakukan aktivitas dan anjuran bedrest
  1. Aspek Psikologis
  2. Kaji tentang emosi, Pengetahuan terhadap penyakit, dan suasana hati.
  1. Aspek penunjang
  2. Hasil pemeriksaan Laboratorium (bilirubin,amylase serum meningkat).
  3. Obat-obatan satu terapi sesuai dengan anjuran dokter

5.     Analisa Data
Data
Etiologi
Masalah Keperawatan
DS : Pasien mengeluh nyeri di daerah ulu hati
DO : nyeri tekan di epigastrium

Sumbatan empedu / koleltiasis


Aliran balik cairan empedu ke hepar

Proses radang di sekitar hepatobilier

Infeksi

Nyeri
Nyeri
DS : -
DO : pasien lemah, mata cowong, turgor kulit buruk
Penurunan peristaltik karena efek kolelitiasis

Makanan tertahan di dalam lambung

Peningkatan rasa mual

Mual / muntah

Penurunan volume cairan
Penurunan volume cairan
DS : Pasien mengatakan perutnya tidak enak karena mual muntah
DO : Distensi abdomen
Penurunan peristaltik karena efek kolelitiasis

Makanan tertahan di dalam lambung

Peningkatan rasa mual

Mual / muntah

Peubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

B.    Diagnosa keperawatan
1.         Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi, proses pembedahan
2.         Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan nyeri
3.         Gangguan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan obstruksi aliran empedu, mual, muntah
4.         Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahaan drainase bilier sesudah dilakukan tindakan bedah.
5.         Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan berhubungan dengan  kurangnya informasi.

C.    Intervensi
a.       Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi, proses pembedahan
Tujuan                  : nyeri hilang atau terkontrol
Kriteria hasil      : pasien akan menunjukkan penggunaan ketrampilanrelaksasi dan aktivitas distraksi, skala nyeri mengalami penurunan, tanda vital dalam batas normal.

No
Intervensi
Rasional
                
 1
Observasi dan catat lokasi, beratnya (skala1-10) dan karakteristik nyeri (menetap, hilang timbul, kolik)
Membedakan penyebab nyeri dan memberikan informassi tentang kemajuan/ perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi dan keefektifan intervensi.
                2
Catat respon terhadap obat dan laporkan pada dokter bila nyeri hilang
Nyeri berat yang tidak hilang dengan tindakan rutin dapat menun jukkan terjadinya komplikasi/ kebutuhan terhadap intervensi lebih lanjut
                3
Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman
Tirah baring pada posisi fowler rendah menurunkan tekanan intraabdomen: namun pasien akan melakukan posisi yang menghilangkan nyeri secara alamiah
                4
Dorong penggunaan teknik relaksasi,contoh bimbingan imajinasi, visualisasi, latihan nafas dalam
Meningkatkan istirahat, memusatkan kembali perhatian dan dapat meningkatkan koping
               5
Kolaborasi :

Berikan obat sesuai indikasi: anti biotik, anti kolinergik, sedatif seperti phenobarbital, narkotik seperti meperidin hidoklorida.



Anti biotik mengobati proses infeksi. Antikolinergik menghilangkan spasme/kontraksi otot halus dan membantu menghilangkan nyeri. Sedatif meningkatkan istirahat dan relaksasi otot. Narkotik menurunkan nyeri hebat

b.    Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan nyeri
Tujuan                   pola nafas menjadi efektif
Kriteria hasil         : frekuensi pernafasan normal (RR= 16-20 x/ mnt), tidak ada pergerakan otot bantu nafas, nyeri pasien terkontrol.
No
Intervensi
Rasional
1

Observasi frekuensi/ kedalaman pernafasan
Nafas dangkal, disstres pernafasan, menahan nafas, dapat mengakibatkan hipoventilasi/ atelektasis
2
Auskultasi bunyi nafas
Area yang menurun/ tak ada bunyi nafas diduga atelektasis, sedangakan bunyi adventisius (mengi/ ronchi) menunjukkan kongesti.
3
Bantu pasien batuk dan nafas dalam secara periodik.
Meningkatkan ventilasi semua segmen paru dan memobilisasi serta mengeluarkan secret
4
Tinggikan kepala tempat tidur, pertahankan posisi fowler
Memudahkan ekspansi paru, penekanan, memberkan sokongan pada insisi untuk menurunkan tegangan otot dan meningkatkan kerja sama dalam program pengobatan.

c.    Gangguan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan obstruksi aliran empedu, mual, muntah
Tujuan                  : Masalah nutrisi tidak menjadi aktual
Kriteria hasil         : Mual dan muntah hilang, berat badan tidak turun
No
Intervensi
Rasional
1
Kaji distensi abdomen, sering bertahak, berhati-hati, menolak bergerak
Tanda non verbal ketidaknyamanan berhubungan dengan gangguan pencernaan, nyeri gas
2
Hitung intake kalori
Mengidentifikasi kekurangan/ kebutuhan nutrisi
3
Mengukur ratio TB dan BB
Mengawasi keefektifan rencana diet
4
Kaji makanan kesukaan, makanan yang menyebabkan distres, dan jadwal makan yang disukai
Melibatkan pasien dalam perencanaan, memampukan pasien memiliki rasa kontrol dan mendorong untuk makan
5

Oral hygiene sebelum makan
Mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan
6




Ambulasi dan tingkatkan aktifitas sesuai toleransi

Membantu dalam mengeluarkan flatus, penurunan distensi abdomen, mempengaruhi penyembuhan dan rasa sehat dan menurunkan kemungkinan masalah sekunder sehubungan imobilisasi seperti pneumonia, tromboflebitis.
7
Kolaborasi :
a.    Konsultasi dengan ahli gizi sesuai indikasi

b.    Mulai diet cair rendah lemak setelah NGT dilepas.


c.    Tambahkan diet sesuai toleransi biasanya rendah lemak tinggi serat, batasi makana yang banyak mengandung gas

d.   Berikan garam empedu seperti biliron : zanchol : asam dehidrokolik (decholin) sesuai indikasi

e.    Lab BUN, alb, protein serum, kadar transverin

Berguna dalam membuat kebutuhan nutrisi individu melalui rute yang tepat

Pembatasan lemak menurunkan rangsangan pada kandung empedu dan nyeri sehubungan dengan tidak semua lemak dicerna

Memenuhi kebutuhan nutrisi dan meminimalkan rangsangan pada kandung empedu



Meningkatkan pencernaan dan absorbsi lemak, vitamin larut lemak, kolesterol. Bergna pada kolesistitis kronis.


Memberi informasi kekurangan nutrisi/keefektifan terapi

d.   Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahaan drainase bilier sesudah dilakukan tindakan bedah.
Tujuan                    :    tidak terjadi gangguan integritas kulit
Kriteria hasil          penyembuhan luka tepat waktu dan tanpa komplikasi.
No
Intervensi
Rasional
1
Periksa selang T dan drain insisi, yakinkan aliran bebas.
Selang T dapat dimassukkan pada ductus koleduktus selama 7 sampai dengan 10 hari untuk membuang batu yang tertahan. Drain insisi digunakan untuk membuang cairan yang terkumpul sehingga mencegah aliran balik empedu ke daerah operasi.
2
Pertahankan selang T pada system penampungan tertutup.
Mencegah iritasi kuliat dan mencegah haluaran. Menurunkan resiko kontaminasi.
3
Observasi warna dan karakter drainase.
Pada awalnya drainase mengandung darah dan campuran air. Secara normal berubah menjadi warna coklat kehijauan (warna empedu) setelah jam-jam pertama. Kantung ostomi digunakan untuk menampung drainase besar tentang pengeluaran.
4
Observasi adanya cegukan, distensi abdomen atau tanda peritonitis, pankratitis
Perubahan posisi selang T dapat mengakibatkan iritasi diafragma atau komplikasi lebih serius bila empedu  mengalir ke dalam abdomen atau ductus pancreas terhambat.
5

Observasi kulit, sclera dan perubahan warna urin
Terjadinya icterik mengindikasikan adanya obstruksi aliran empedu.
6



Kolaborasi
Pemberian antibiotic sesuai indikasi.

Diperlukan untuk pengobatan abses/ infeksi.

e.    Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan pengobatan berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat
Tujuan               : Pasien menyatakan pemahaman proses penyakit, pengobatan
Kriteria hasil      :  Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan
No
Intervensi
Rasional
1
Beri penjelasan/ alasan pemeriksaan dan persiapannya
Informasi dapat menurunkan cemas dan rangsang simpatis
2
Kaji ulang program terapi dan kemungkinan efek samping
Batu empedu sering berulang, perlu terapi jangka panjang terjadinya diare/kram selama terapi senidiol dapat dihubungkan dengan dosis/dapat diperbaiki. Catatan : wanita yang melahirkan harus dikonsultasikan tentang KB untuk mencegahkehamilandan resiko kerusakan hepatik fetal
3
Kaji ulang proses penyakit/prognosis. Diskusikan perawatan dan pengobatan. Dorong pertanyaan, ekspresi masalah
Memberi dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi. Komunikasi efektif dan dukungan turunkan cemas dan tingkatkan penyembuhan
4
Diskusikan penurunan berat badan bila diindikasikan
Kegemukan adalah faktor resiko yang berhubungan dengan kolelitiasis, dan penurunan BB menguntungkan dalam manajemen medik terhadaap kondisi kronik
5






Anjurkan pasien untuk menghindari makanan tinggi lemak (mentega, gorengan, kacang, susu segar, es krim, minuman karbonat) dan zat iritan gaster (pedas, kafein, sitrun)
Mencegah terulangnya serangan kandung empedu





6


Anjurkan istirahat pada posisi semi fowler setelah makan
Meningkatkan aliran empedu dan relaksasi umum selama proses pencernaan awal

7


Anjurkan untuk tidak  mengunyah permen karet, menghisap permen atau merokok
Meningkatkan pembentukan gas, yang dapat meningkatkan distensi dan ketidaknyamanan gaster
8
Diskusikan menghindari produk yang mengandung aspirin, meniup lewat hidung keras-keras, gerakan tegang pada usus, olah raga kontak, anjurkan menggunakan sikat gigi halus, pencukur elektrik
Menurunkan resiko perdarahan sehubungan dengan perubahab waktu koagulasi, iritasi mukosa, dan trauma.


DAFTAR PUSTAKA

Andessa, 2011, Asuhan Keperawatan Kolelitiasis, diakses tanggal 4 Oktober 2011 pukul 12.00 WIB. http://hesa-andessa.blogspot.com/2011/01/asuhan-keperawatan-kolelitiasis.html
Anonim, 2009, Asuhan Keperawatan pada kolelitiasis, diakses pada tanggal 1 Oktober 2011 pukul 10.00 WIB<http://keperawatankita.wordpress.com/2009/02/11/kolelitiasis-definisi-serta-askepnya/>
Anonim, 2009, Asuhan Keperawatan pasien kolelitiasis, diakses tanggal 2 Oktober 2011 pukul 10.30 WIB <perawatpskiatri.blogspot.com/2009/04/asuhan-keperawatan-pasien-dengan.html>
Nucleus Precise Newsletter. (2011). Batu Empedu. Jakarta : PT.Nucleus Precise
Dr. H. Y. Kuncara Aplikasi klinis patofisiologi: Pemeriksaan dan manajemen, edisi 2: 2009; Buku kedokteran EGC
Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-579.