KONSEP DASAR PENYAKIT
1.
Anatomi Fisiologi
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti
buah alpukat yang terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Empedu yang
disekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil di
dalam hati. Saluran empedu yang kecil-kecil tersebut bersatu membentuk
dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai
duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bersatu membentuk duktus hepatikus
komunis. Duktus hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus
membentuk duktus koledokus. Pada banyak orang, duktus koledokus bersatu
dengan duktus pankreatikus membentuk ampula Vateri sebelum bermuara ke usus
halus. Bagian terminal dari kedua saluran dan ampla dikelilingi oleh serabut
otot sirkular, dikenal sebagai sfingter Oddi.
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan
memekatkan empedu. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu yang
dihasilkan hati. Empedu yang dihasilkan hati tidak langsung masuk ke duodenum,
akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan
disimpan di kandung empedu. Pembuluh limfe dan pembuluh darah
mengabsorbsi air dan garam-garam anorganik dalam kandung empedu sehingga
cairan empedu dalam kandung empedu akan lebih pekat 10 kali lipat daripada
cairan empedu hati. Secara berkala kandung empedu akan mengosongkan
isinya ke dalam duodenum melalui kontraksi simultan lapisan ototnya dan
relaksasi sfingter Oddi. Rangsang normal kontraksi dan pengosongan
kandung empedu adalah masuknya kimus asam dalam duodenum. Adanya lemak dalam
makanan merupakan rangsangan terkuat untuk menimbulkan kontraksi. Hormone CCK
juga memperantarai kontraksi.
Dua penyakit saluran empedu yang paling sering
frekuensinya adalah pembentukan batu (kolelitiasis) dan radang kronik
penyertanya (kolesistitis). Dua keadaan ini biasa timbul sendiri-sendiri, atau
timbul bersamaan. (Sjamsuhidajat R, 2005)
2.
Definisi
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus.
Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung
empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang
membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.
Batu Empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam
saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut
kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis
(Nucleus Precise Newsletter, edisi 72, 2011).
Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak
berbentuk yang terbentuk dalam kandung empedu. Komposisi dari kolelitiasis
adalah campuran dari kolesterol, pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik.
Lebih dari 70% batu saluran empedu adalah tipe batu pigmen, 15-20% tipe batu
kolesterol dan sisanya dengan komposisi yang tidak diketahui. Di negara-negara
Barat, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol, sehingga sebagian
batu empedu mengandung kolesterol lebih dari 80% (Majalah Kedokteran Indonesia,
volum 57, 2007).
3.
Etiologi
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama
kolik dan asam chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3%
protein dan 0,3% bilirubin. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan
sempurna namun yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan
oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu.
Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol yang biasanya
tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena kolesterol,
maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar empedu.
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor
resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki
seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor
resiko tersebut antara lain :
1) Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki)
2) Usia lebih dari 40 tahun .
3) Kegemukan (obesitas).
4) Faktor keturunan
5) Aktivitas fisik
6) Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan)
7) Hiperlipidemia
8) Diet tinggi lemak dan rendah serat
9) Pengosongan lambung yang memanjang
10) Nutrisi intravena jangka lama
11) Dismotilitas kandung empedu
12) Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate)
13) Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati,
pankreatitis dan kanker kandung empedu) dan penyakit ileus (kekurangan
garam empedu)
14) Ras/etnik (Insidensinya tinggi pada Indian Amerika, diikuti oleh kulit
putih, baru orang Afrika)
4.
Klasifikasi
Menurut Lesmana L, 2000 dalam Buku Ajar Penyakit Dalam
Jilid I gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkankan atas 3 (tiga) golongan:
1)
Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan
mengandung lebih dari 70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah
kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol). Untuk terbentuknya batu
kolesterol diperlukan 3 faktor utama :
a)
Supersaturasi kolesterol
b)
Hipomotilitas kandung empedu
c)
Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.
2)
Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu
yang mengandung <20% kolesterol. Jenisnya antara lain:
a)
Batu pigmen kalsium bilirubinat (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau
coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat sebagai
komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis
dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi
sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi
infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang
berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam
glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak
larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara
infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat. Umumnya batu pigmen
cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi.
b)
Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk,
seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. Batu
pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada pasien dengan
hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari
derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini
belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan
empedu yang steril.
3) Batu campuran
3) Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana
mengandung 20-50% kolesterol.
5.
Manifestasi
Klinis
Gejala klinik kolelitiasis bervariasi dari tanpa
gejala hingga munculnya gejala. Lebih dari 80% batu kandung empedu
memperlihatkan gejala asimptomatik. Gejala klinik yang timbul
pada orang dewasa biasanya dijumpai gejala dispepsia non
spesifik, intoleransi makanan yang mengandung lemak, nyeri
epigastrium yang tidak jelas, tidak nyaman pada perut kanan
atas. Gejala ini tidak spesifik karena bisa terjadi pada orang
dewasa dengan atau tanpa kolelitiasis.
Pada anak-anak, gejala klinis yang sering ditemui
adalah adanya nyeri bilier danobstructive jaundice.
Nyeri bilier yang khas pada penderita ini adalah kolik bilier
yang ditandai oleh gejala nyeri yang berat dalam waktu lebih
dari 15 menit sampai 5 jam. Lokasi nyeri di epigastrium, perut
kanan atas menyebar sampai ke punggung. Nyeri sering terjadi
pada malam hari, kekambuhannya dalam waktu yang tidak beraturan.
Nyeri perut kanan atas yang berulang merupakan gambaran penting
adanya kolelitiasis. Umumnya nyeri terlokalisir di perut kanan
atas, namun nyeri mungkin jugaterlokalisir di epigastrium. Nyeri pada
kolelitiasis ini biasanya menyebar ke bahu atas. Mekanisme
nyeri diduga berhubungan dengan adanya obstruksi dari duktus.
Tekananpada kandung empedu bertambah sebagai usaha untuk melawan
obstruksi, sehingga pada saat serangan, perut kanan atas atau
epigastrium biasanya dalam keadaan tegang.
Studi yang dilakukan oleh Kumar et al didapatkan
gejala nyeri perut kanan atas yang berulang dengan atau tanpa mual
dan muntah mencapai 75% dari gejala klinik yang timbul, sisanya
meliputi nyeri perut kanan atas yang akut, jaundice, failure
to thrive,keluhan perut yang tidak nyaman. Hanya 10%
dijumpai dengan gejala asimptomatik.Mual dan muntah juga umum terjadi. Demam
umum terjadi pada anak dengan umur kurang dari 15 tahun. Nyeri episodik
terjadi secara tidak teratur dan beratnya serangansangat bervariasi. Pada
pemeriksaan fisik mungkin tidak dijumpai kelainan. Pada
sepertiga pasien terjadi inflamasi mendahului nekrosis, kemudian
diikuti perforasi atau empiema pada kandung empedu.
Lewatnya batu pada kandung empedu menyebabkan obstruksi
kandung empedu, kolangitis duktus dan pankreatitis. Manifestasi
pertama gejala kolelitiasis sering berupakolesistitis akut dengan gejala demam,
nyeri perut kanan atas yang dapat menyebar sampai ke skapula
dan sering disertai teraba masa pada lokasi nyeri tersebut.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai nyeri tekan pada perut kanan atas yang dapat menyebar
sampai daerah epigastrium. Tanda khas (Murphy’s sign)
berupa napas yang terhenti sejenak akibat rasa nyeri yang
timbul ketika dilakukan palpasi dalam di daerah subkosta kanan.
6.
Patofisiologi
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap:
(1) pembentukan empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti
batu, dan (3) berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan
kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu,
kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila
perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol
turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media
yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan
koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang
hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang
berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin,
merupakan keadaan yang litogenik.
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu
nidus atau inti pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol,
kristal kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk
suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin
bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain
diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan. (Schwartz S 2000).
Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini :
bilirubinat, karbonat, fosfat dan asam lemak. Pigmen (bilirubin) pada kondisi
normal akan terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin terkonjugasi karena adanya
enzim glokuronil tranferase bila bilirubin tak terkonjugasi diakibatkan karena
kurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase tersebut yang akan
mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubin tersebut. Ini disebabkan
karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air tapi larut dalam
lemak.sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak terkonjugasi
yang bisa menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi.
Pigmen
(bilirubin) tak terkonjugasi dalam empedu
↓
Akibat
berkurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase
↓
Presipitasi /
pengendapan
↓
Berbentuk batu
empedu
↓
Batu tersebut
tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi
7.
Pemeriksaan
Diagnostik
a.
Radiologi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral
sebagai prosedur diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan
dengan cepat dan akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan
ikterus. Disamping itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi
inisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil yang paling akurat jika pasien
sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya berada dalam
keadan distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang suara yang
dipantulkan kembali. Pemeriksan USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung
empedu atau duktus koleduktus yang mengalami dilatasi.
b.
Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau
bila hasil USG meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi
batu empedu dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral kolesistografi
tidak digunakan bila pasien jaundice karena liver tidak dapat menghantarkan
media kontras ke kandung empedu yang mengalami obstruksi. (Smeltzer dan Bare,
2002).
c.
Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah
dinding kandung empedu telah menebal. (Williams 2003)
d.
ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur
secara langsung yang hanya dapat dilihat pada saat laparatomi. Pemeriksaan ini
meliputi insersi endoskop serat optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga
mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam duktus
koleduktus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikan ke
dalam duktus tersebut untuk menentukan keberadaan batu di duktus dan
memungkinkan visualisassi serta evaluasi percabangan bilier.
(Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).
e. Pemeriksaan Laboratorium
1)
Kenaikan serum kolesterol
2)
Kenaikan fosfolipid
3)
Penurunan ester kolesterol
4)
Kenaikan protrombin serum time
5)
Kenaikan bilirubin total, transaminase (Normal <
0,4 mg/dl)
6)
Penurunan urobilirubin
7)
Peningkatan sel darah putih: 12.000 - 15.000/iu
(Normal : 5000 - 10.000/iu)
8)
Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau
bila ada batu di duktus utama (Normal: 17 - 115 unit/100ml)
8.
Penatalaksanaan
Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non bedah
dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala yang menyertai
kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis simptomatik dan
kolelitiasis yang asimptomatik.
8.1 Penatalaksanaan Nonbedah
1. Penatalaksanaan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut
kandung empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik,
analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut
mereda dan evalusi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien
memburuk (Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).
Manajemen terapi :
- Diet
rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
- Pemasangan
pipa lambung bila terjadi distensi perut.
- Observasi
keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
- Dipasang
infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.
- Pemberian
antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)
2. Disolusi medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian obat-obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih
dipilih dalam pengobatan daripadachenodeoxycholic karena efek
samping yang lebih banyak pada penggunaanchenodeoxycholic seperti
terjadinya diare, peningkatan aminotransfrase dan
hiperkolesterolemia sedang
Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan batu
pada 60% pasien dengan kolelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka kekambuhan
mencapai lebih kurang 10%, terjadi dalam 3-5 tahun setelah terapi. Disolusi
medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi nonoperatif diantaranya batu
kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung
empedu baik dan duktus sistik paten. Pada anak-anak terapi ini tidak
dianjurkan, kecuali pada anak-anak dengan risiko tinggi untuk menjalani
operasi.
3. Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk
menghancurkan batu kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam
kandung empedu melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain
melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai adalah methyl terbutyl
eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalam kandung
empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu yang
kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkan iritasi
mukosa, sedasi ringan dan adanya kekambuhan terbentuknya kembali
batu kandung empedu
4. Litotripsi Gelombang
Elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut
berulang (Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam
kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud memecah batu tersebut
menjadi beberapa sejumlah fragmen. (Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).
ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun yang
lalu. Analisis biaya-manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini
hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk
menjalani terapi ini.
5. Endoscopic Retrograde
Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut,
kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak
masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi.
Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang
menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah
berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita
yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman
dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada
penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah
diangkat
8.2 Penatalaksanaan Bedah
a. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan
pasien denga kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang
dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien.
Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi
yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti
oleh kolesistitis akut.
b. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada
tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara
laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena
memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi
normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru. Kandung
empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding
perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis
simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya
pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan
kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis
keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat
mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat
cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum
terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden
komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering
selama kolesistektomi laparoskopi.
9.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
kolelitiasis :
1)
Asimtomatik
2)
Obstruksi duktus sistikus
3)
Kolik bilier
4)
Kolesistitis akut
5)
Perikolesistitis
6)
Peradangan pankreas (pankreatitis)
7)
Perforasi
8)
Kolesistitis kronis
9)
Hidrop kandung empedu
10)
Empiema kandung empedu
11)
Fistel kolesistoenterik
12)
Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran
menciut kembali dan batu empedu muncul lagi)
13)
Ileus batu empedu (gallstone ileus)
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena
adanya makanan menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi
ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu
dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus
sistikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi
infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu
dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga
membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat
juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat
mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan
dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi
kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus
sistikus pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju
sampai duktus koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat
menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat
terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna
melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar
dapat menyumbat pada bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan
menimbulkan ileus obstruksi
10. Prognosis
Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil, pemeriksaan serial USG
diperlukan untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu bisa
menghilang secara spontan. Untuk batu besar masih merupakan masalah, karena
merupakan risiko terbentuknya karsinoma kandung empedu (ukuran lebih dari 2
cm). Karena risiko tersebut, dianjurkan untuk mengambil batu tersebut. Pada
anak yang menderita penyakit hemolitik, pembentukan batu pigmen akan semakin
memburuk dengan bertambahnya umur penderita, dianjurkan untuk melakukan
kolesistektomi.
ASUHAN KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
Pengkajian adalah fase
pertama proses keperawatan . Data yang dikumpulkan meliputi :
1.
Identitas
Kolelitiasis merupakan
batu pada kandung empedu yang banyak terjadi pada individu yang berusia di atas
40 tahun dan semakin meningkat pada usia 75 tahun. Dan wanita mempunyai resiko
3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria.
2.
Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Merupakan keluhan yang
paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian. Biasanya keluhan utama
yang klien rasakan adalah nyeri abdomen pada kuadran kanan atas, dan mual
muntah.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan
diri dari keluhan utama melalui metode PQRST, paliatif atau provokatif (P)
yaitu focus utama keluhan klien, quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana
nyeri/gatal dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar
kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana yang dapat mengurangi
nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan klien
merasakan nyeri/gatal tersebut. Klien sering mengalami nyeri di ulu hati yang
menjalar ke punggung , dan bertambah berat setelah makan disertai dengan mual
dan muntah.
c.
Riwayat penyakit dahulu
Perlu dikaji apakah klien
pernah menderita penyakit sama atau pernah di riwayat sebelumnya. Klien
memiliki Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol
dalam kandung empedu pun tinggi.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya
keluarga klien pernah menderita penyakit kolelitiasis. Penyakit kolelitiasis
tidak menurun, karena penyakit ini menyerang sekelompok manusia yang memiliki
pola makan dan gaya hidup yang tidak sehat. Tapi orang dengan riwayat keluarga
kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibanding dengan tanpa riwayat
keluarga.
e. Riwayat psikososial
Pola pikir sangat
sederhana karena ketidaktahuan informasi dan mempercayakan sepenuhnya dengan
rumah sakit. Klien pasrah terhadap tindakan yang dilakukan oleh rumah sakit
asal cepat sembuh. Persepsi diri baik, klien merasa nyaman, nyeri tidak timbul
sehubungan telah dilakukan tindakan cholesistektomi.
f.
Riwayat lingkungan
Lingkungan tidak
berpengaruh terhadap penyakit kolelitiasis. Karena kolelitiasis dipengaruhi
oleh pola makan dan gaya hidup yang tidak baik.
3.
Pemeriksaan fisik
Pada hasil pemeriksaan fisik abdomen didapatkan :
a)
Inspeksi : datar, eritem
(-), sikatrik (-)
b)
Auskultasi : peristaltik
(+)
c)
Perkusi : timpani
d)
Palpasi : supel, nyeri
tekan (+) regio kuadran kanan atas, hepar-lien tidak teraba, massa (-)
e)
Sistem endokrin
Mengkaji tentang keadaan
abdomen dan kantung empedu. Biasanya pada penyakit ini kantung empedu dapat
terlihat dan teraba oleh tangan karena terjadi pembengkakan pada kandung
empedu.
4.
Pola aktivitas
- Nutrisi
- Dikaji tentang porsi makan, nafsu makan
- Aktivitas
- Dikaji tentang aktivitas sehari-hari, kesulitan melakukan aktivitas dan anjuran bedrest
- Aspek Psikologis
- Kaji tentang emosi, Pengetahuan terhadap penyakit, dan suasana hati.
- Aspek penunjang
- Hasil pemeriksaan Laboratorium (bilirubin,amylase serum meningkat).
- Obat-obatan satu terapi sesuai dengan anjuran dokter
5.
Analisa Data
Data
|
Etiologi
|
Masalah Keperawatan
|
DS : Pasien mengeluh
nyeri di daerah ulu hati
DO : nyeri tekan di
epigastrium
|
Sumbatan empedu /
koleltiasis
Aliran balik cairan
empedu ke hepar
Proses radang di sekitar
hepatobilier
Infeksi
Nyeri
|
Nyeri
|
DS : -
DO : pasien lemah, mata
cowong, turgor kulit buruk
|
Penurunan peristaltik
karena efek kolelitiasis
Makanan tertahan di
dalam lambung
Peningkatan rasa mual
Mual / muntah
Penurunan volume cairan
|
Penurunan volume cairan
|
DS : Pasien mengatakan
perutnya tidak enak karena mual muntah
DO : Distensi abdomen
|
Penurunan peristaltik
karena efek kolelitiasis
Makanan tertahan di
dalam lambung
Peningkatan rasa mual
Mual / muntah
Peubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh
|
Nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
|
B.
Diagnosa keperawatan
1. Nyeri
akut berhubungan dengan obstruksi, proses pembedahan
2. Pola nafas tidak efektif
berhubungan dengan nyeri
3. Gangguan
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan obstruksi aliran
empedu, mual, muntah
4. Gangguan
integritas kulit berhubungan dengan perubahaan drainase bilier sesudah
dilakukan tindakan bedah.
5. Kurang
pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya
informasi.
C.
Intervensi
a. Nyeri akut
berhubungan dengan obstruksi, proses pembedahan
Tujuan :
nyeri hilang atau terkontrol
Kriteria hasil : pasien akan menunjukkan penggunaan ketrampilanrelaksasi dan aktivitas
distraksi, skala nyeri mengalami penurunan, tanda vital dalam batas normal.
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Observasi dan catat lokasi, beratnya (skala1-10) dan karakteristik nyeri
(menetap, hilang timbul, kolik)
|
Membedakan penyebab nyeri dan memberikan informassi tentang kemajuan/
perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi dan keefektifan intervensi.
|
2
|
Catat respon terhadap obat dan laporkan pada dokter bila nyeri hilang
|
Nyeri berat yang tidak hilang dengan tindakan rutin dapat menun jukkan
terjadinya komplikasi/ kebutuhan terhadap intervensi lebih lanjut
|
3
|
Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman
|
Tirah baring pada posisi fowler rendah menurunkan tekanan intraabdomen:
namun pasien akan melakukan posisi yang menghilangkan nyeri secara alamiah
|
4
|
Dorong penggunaan teknik relaksasi,contoh bimbingan imajinasi,
visualisasi, latihan nafas dalam
|
Meningkatkan istirahat, memusatkan kembali perhatian dan dapat
meningkatkan koping
|
5
|
Kolaborasi :
Berikan obat sesuai indikasi: anti biotik, anti kolinergik, sedatif
seperti phenobarbital, narkotik seperti meperidin hidoklorida.
|
Anti biotik mengobati proses infeksi. Antikolinergik menghilangkan spasme/kontraksi
otot halus dan membantu menghilangkan nyeri. Sedatif meningkatkan istirahat
dan relaksasi otot. Narkotik menurunkan nyeri hebat
|
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan
nyeri
Tujuan : pola nafas menjadi efektif
Kriteria
hasil : frekuensi pernafasan normal
(RR= 16-20 x/ mnt), tidak ada pergerakan otot bantu nafas, nyeri pasien
terkontrol.
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Observasi frekuensi/
kedalaman pernafasan
|
Nafas dangkal, disstres
pernafasan, menahan nafas, dapat mengakibatkan hipoventilasi/ atelektasis
|
2
|
Auskultasi bunyi nafas
|
Area yang menurun/ tak ada
bunyi nafas diduga atelektasis, sedangakan bunyi adventisius (mengi/ ronchi)
menunjukkan kongesti.
|
3
|
Bantu pasien batuk dan nafas
dalam secara periodik.
|
Meningkatkan ventilasi semua
segmen paru dan memobilisasi serta mengeluarkan secret
|
4
|
Tinggikan kepala tempat
tidur, pertahankan posisi fowler
|
Memudahkan ekspansi paru,
penekanan, memberkan sokongan pada insisi untuk menurunkan tegangan otot dan
meningkatkan kerja sama dalam program pengobatan.
|
c. Gangguan perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan berhubungan dengan obstruksi aliran empedu, mual, muntah
Tujuan : Masalah
nutrisi tidak menjadi aktual
Kriteria
hasil : Mual dan muntah
hilang, berat badan tidak turun
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Kaji distensi abdomen, sering bertahak, berhati-hati, menolak bergerak
|
Tanda non verbal ketidaknyamanan berhubungan dengan gangguan pencernaan,
nyeri gas
|
2
|
Hitung intake kalori
|
Mengidentifikasi kekurangan/ kebutuhan nutrisi
|
3
|
Mengukur ratio TB dan BB
|
Mengawasi keefektifan rencana diet
|
4
|
Kaji makanan kesukaan, makanan yang menyebabkan distres, dan jadwal makan
yang disukai
|
Melibatkan pasien dalam perencanaan, memampukan pasien memiliki rasa
kontrol dan mendorong untuk makan
|
5
|
Oral hygiene sebelum makan
|
Mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan
|
6
|
Ambulasi dan tingkatkan aktifitas sesuai toleransi
|
Membantu dalam mengeluarkan flatus, penurunan
distensi abdomen, mempengaruhi penyembuhan dan rasa sehat dan menurunkan
kemungkinan masalah sekunder sehubungan imobilisasi seperti pneumonia,
tromboflebitis.
|
7
|
Kolaborasi :
a. Konsultasi dengan ahli gizi
sesuai indikasi
b. Mulai diet cair rendah
lemak setelah NGT dilepas.
c. Tambahkan diet sesuai
toleransi biasanya rendah lemak tinggi serat, batasi makana yang banyak
mengandung gas
d. Berikan garam empedu seperti
biliron : zanchol : asam dehidrokolik (decholin) sesuai indikasi
e. Lab BUN, alb, protein
serum, kadar transverin
|
Berguna dalam membuat kebutuhan nutrisi individu melalui rute yang tepat
Pembatasan lemak menurunkan rangsangan pada kandung empedu dan nyeri
sehubungan dengan tidak semua lemak dicerna
Memenuhi kebutuhan nutrisi dan meminimalkan rangsangan pada kandung empedu
Meningkatkan pencernaan dan absorbsi lemak, vitamin larut lemak,
kolesterol. Bergna pada kolesistitis kronis.
Memberi informasi kekurangan nutrisi/keefektifan terapi
|
d. Gangguan integritas kulit
berhubungan dengan perubahaan drainase bilier sesudah dilakukan tindakan bedah.
Tujuan : tidak
terjadi gangguan integritas kulit
Kriteria hasil : penyembuhan luka tepat waktu
dan tanpa komplikasi.
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Periksa selang T dan drain
insisi, yakinkan aliran bebas.
|
Selang T dapat dimassukkan
pada ductus koleduktus selama 7 sampai dengan 10 hari untuk membuang batu
yang tertahan. Drain insisi digunakan untuk membuang cairan yang terkumpul
sehingga mencegah aliran balik empedu ke daerah operasi.
|
2
|
Pertahankan selang T pada
system penampungan tertutup.
|
Mencegah iritasi kuliat dan
mencegah haluaran. Menurunkan resiko kontaminasi.
|
3
|
Observasi warna dan karakter
drainase.
|
Pada awalnya drainase
mengandung darah dan campuran air. Secara normal berubah menjadi warna coklat
kehijauan (warna empedu) setelah jam-jam pertama. Kantung ostomi digunakan
untuk menampung drainase besar tentang pengeluaran.
|
4
|
Observasi adanya cegukan,
distensi abdomen atau tanda peritonitis, pankratitis
|
Perubahan posisi selang T
dapat mengakibatkan iritasi diafragma atau komplikasi lebih serius bila
empedu mengalir ke dalam abdomen atau ductus pancreas terhambat.
|
5
|
Observasi kulit, sclera dan
perubahan warna urin
|
Terjadinya icterik
mengindikasikan adanya obstruksi aliran empedu.
|
6
|
Kolaborasi
Pemberian antibiotic sesuai
indikasi.
|
Diperlukan untuk pengobatan
abses/ infeksi.
|
e. Kurang pengetahuan tentang
kondisi, prognosis dan pengobatan berhubungan dengan informasi yang tidak
adekuat
Tujuan : Pasien menyatakan pemahaman proses penyakit, pengobatan
Kriteria hasil : Melakukan
perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Beri penjelasan/ alasan pemeriksaan dan persiapannya
|
Informasi dapat menurunkan cemas dan rangsang simpatis
|
2
|
Kaji ulang program terapi dan kemungkinan efek samping
|
Batu empedu sering berulang, perlu terapi jangka panjang terjadinya
diare/kram selama terapi senidiol dapat dihubungkan dengan dosis/dapat
diperbaiki. Catatan : wanita yang melahirkan harus dikonsultasikan tentang KB
untuk mencegahkehamilandan resiko kerusakan hepatik fetal
|
3
|
Kaji ulang proses penyakit/prognosis. Diskusikan perawatan dan
pengobatan. Dorong pertanyaan, ekspresi masalah
|
Memberi dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan
informasi. Komunikasi efektif dan dukungan turunkan cemas dan tingkatkan
penyembuhan
|
4
|
Diskusikan penurunan berat badan bila diindikasikan
|
Kegemukan adalah faktor resiko yang berhubungan dengan kolelitiasis, dan
penurunan BB menguntungkan dalam manajemen medik terhadaap kondisi kronik
|
5
|
Anjurkan pasien untuk menghindari makanan tinggi
lemak (mentega, gorengan, kacang, susu segar, es krim, minuman karbonat) dan
zat iritan gaster (pedas, kafein, sitrun)
|
Mencegah terulangnya serangan kandung empedu
|
6
|
Anjurkan istirahat pada posisi semi fowler setelah
makan
|
Meningkatkan aliran empedu dan relaksasi umum selama proses pencernaan
awal
|
7
|
Anjurkan untuk tidak mengunyah permen karet, menghisap permen atau merokok
|
Meningkatkan pembentukan gas, yang dapat meningkatkan distensi dan
ketidaknyamanan gaster
|
8
|
Diskusikan menghindari produk yang mengandung
aspirin, meniup lewat hidung keras-keras, gerakan tegang pada usus, olah raga
kontak, anjurkan menggunakan sikat gigi halus, pencukur elektrik
|
Menurunkan resiko perdarahan sehubungan dengan perubahab waktu koagulasi,
iritasi mukosa, dan trauma.
|
DAFTAR PUSTAKA
Andessa, 2011, Asuhan
Keperawatan Kolelitiasis, diakses tanggal 4 Oktober 2011 pukul 12.00 WIB. http://hesa-andessa.blogspot.com/2011/01/asuhan-keperawatan-kolelitiasis.html
Anonim, 2009, Asuhan
Keperawatan pada kolelitiasis, diakses pada tanggal 1 Oktober 2011
pukul 10.00 WIB<http://keperawatankita.wordpress.com/2009/02/11/kolelitiasis-definisi-serta-askepnya/>
Anonim, 2009, Asuhan
Keperawatan pasien kolelitiasis, diakses tanggal 2 Oktober 2011 pukul 10.30 WIB <perawatpskiatri.blogspot.com/2009/04/asuhan-keperawatan-pasien-dengan.html>
Nucleus Precise Newsletter. (2011). Batu Empedu. Jakarta : PT.Nucleus Precise
Dr. H. Y. Kuncara Aplikasi
klinis patofisiologi: Pemeriksaan dan manajemen, edisi 2: 2009; Buku kedokteran
EGC
Sjamsuhidajat R, de Jong
W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005.
570-579.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar